Melestarikan Masa Depan Taman Nasional Komodo


<Dikenal sebagai habitat terakhir bagi hewan prasejarah Komodo, Taman Nasional Komodo (TNK), juga menyajikan ruang yang luar biasa bagi keragaman terumbu karang, bakau, padang lamun, dan gunung-gunung bawah laut yang menjadi habitat bagi lebih dari 1.000 spesies ikan dan 385 spesies karang penyusun terumbu.

Sejak 1994, TNK telah menjadi focus sebuah program konservasi, diawali oleh organisasi konservasi global The Nature Concervancy (TNC), bekerja sama dengan Balai Taman Nasional Komodo serta masyarakat setempat, dan kini di lanjutkan oleh PT. Putri Naga Komodo ( PNK),, usaha patungan nirlaba, dengan TNC sebagai pemilik mayoritas saham.

Program ini melindungi ekosistem TNK yang sangat beragam dari pemboman, racun dan tangkap lebih, yang telah menyebabkan kerusakan besar pada terumbu karang dan polulasi ikan. Setelah pemboman berhasil dihentikan, pertumbuhan karang keras meningkat sebesar 60 persen, begitu pula area patahan karang seluas 6.000 meter persegi kini telah ditumbuhi karang keras dan karang lunak baru.

Dibentuk pada tahun2005 sebagai unit pengelola yang mandiri dan berkelanjutan untuk mendukung Inisiatif Pengelolaan Kolaborasi Komodo (KCMI), sebuah srtruktur kolaborasi yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan, PNK percaya bahwa hanya melalui pengelolaan yang efektif dan professional, TNK mampu memenuhi kebutuhan dana untuk kobservasi dan pengembangan masyarakat.

Continue reading “Melestarikan Masa Depan Taman Nasional Komodo”

Perlindungan – Cagar Biru


Upaya pengelolaan perikanan melalui pendekatan ekosistem.

Oleh: Indar wati Aminudin

Abdul maman seorang lelaki sederhana. Lahir dari keluarga etnik Bajo, ia berhasil menamatkan pendidikan sarjananya, suatu hal ynag jarang terjadi di lingkungannya. Manan kini menjadi dosen di Universitas Haluoleo, Sulawesi Tenggara. Sebagai perwakilan kaum intelektual, Orang Bajo di daerah ini memercayai Manan sebagai Ketua Kerukunan Keluarga Bajo.

Kepercayaan itu mengharuskan Manan memikirkan berbagai hal, dari yang kecil hingga yang besar. Misalnya, masalah pendidikan, pekerjaan dan perekonomian Orang Bajo. Ia pun harus menghadapi kecenderungan yang memperlihatkan Orang Bajo dan warga nelayan lainnya mengalami kemunduran dalam menjaga wilayah lautnya. ” Saya menyaksikan ini dari tahun ke tahun.” Katanya, “Generasi yang terputus dan tak lagi paham mengapa kita harus menjaga laut dengan baik.” Saya menjumpai Mnan pada Desember 2006, dalam suasana konsultasi publik menata ulang zonasi untuk kawasan Taman Nasional Wakatobi (TNW).


Orang Bajo yang di maksud Manan hanyalah segelintir warga dari 88 ribu jiwa yang kini bermukim dalam kawasan lindung yang didirikan sejak 1996 itu. Saat ini, secara bertahap mereka mengikuti ritme konversi yang digagas sejak tahun 1986 di wilayahnya. Mereka pun ikut menyaksikan berbagai perbedaan pandang atas misi itu. Bberapa diantara mereka melontarkan keraguan, “Apakah tindakan itu akan menguntungkan seacara nyata bagi warga dan semua pihak?”

Continue reading “Perlindungan – Cagar Biru”

Memburu Tuna di Timur Nusantara


Menempuh ribuan mil laut dan melawan arus kuat bukanlah kendala bagi kapal-kapal kayu pemburu tuna di perairan dalam Nusantara. Namun, mereka harus takluk pada kenyataan paceklik tuna. Rudi Masuswo Purwoko mengisahkan perjalannya mengikuti sebuahg kapal rawai tuna.

disadur oleh : ria & tuti

dari : suplemen national geographic indonesia edisi april 2007

[Jum’at, 9 Juni 2006]

Pelabuhan Benoa, Bali, pukul 06.00 WITA. Inilah kesempatan yang saya tunggu, pergi melaut bersama kapal rawai tuna, (tuna longline) menuju Samudra. Kapal ini menggunakan ribuan kail ( biasanya 700-2000 kail) yang dihanyutkan pada kedalaman tertentu (hingga kedalaman 300 meter) dengan senar utama (main line) yang mencapai puluhan kilometer. Biasanya mereka melaut satu sampai enam bulan dengan tuhuan utama untuk menagkap ikan tuna. Memang, perjalanan ini bukanlah kali pertama bagi saya, Namun kali ini saya akan mencoba alat untuk melepaskan penyu dari kail pancing rawai tuna. Nama alat ini adalah de-hooker. Itulah salah satu tugas saya sebagai pengamat yang mencermati interaksi para nelayan dengan satwa laut yang terancam punah dan dilindungi seperti penyu, paus, dan lumba-lumba.

Usai menaruh seluruh bekal pada anjungan kapal yang saya tumpangi, saya segera mencari kapten kapal, pemimpin perjalanan ini. Berbadan tegak dan berkulit belang akibat terbakar cahaya mentari, sang kapten menyambut kedatangan saya dengan ramah. Ia mengatakan, kapal akan berangkat pada pukul 09.00 WITA. Saya tercenung sesaat, lalu mencoba meminta kelonggaran untuk melaksanakan sembahyang Jum’at. Sang kapten akhirnya meluluskan permohonan saya.

[Sabtu, 10 Juni 2006]

Kapal rawai tuna yang saya tumpangi berbobot 94 gross ton, panjangnya 26, 11 meter dengan lebar 0,755 meter. Berdaya 750 PK, mesin kapal mampu melajukan kapal dengan kecepatan rata-rata 7 knot. Kapten kapal memiliki 14 orang Anak Buah Kapal (ABK). Agar diterima di lingkungan baru, saya menggencarkan pendekatan kepada seluruh awak kapal. Saya piker tak sulit melakukan lobi intensif bila orang satu di kapal ini telah berhasil dirangkul. Siapa ya yang harus saya lobi pada hari ini?Aha, Koki kapal kami! Pejabat penting di bagian dapur ini memang harus segera saya lobi agar ia tak keberatan menyediakan pelayanan yang memuaskan. Saya melangkahkan kaki menuju ruangannya. Continue reading “Memburu Tuna di Timur Nusantara”

KRISIS KELAUTAN INDONESIA


disadur oleh : tuti & ria

dari : suplemen national geographic  indonesia edisi april 2007

K

risis kelautan Indonesia dan dunia telah berada di hadapan kita. Sumber daya perikanan kita semakin mengecil jumlahnya, sementara ekosistem laut kita mendapat banyak tekanan dari berbagai sisi. Para peneliti menemukan indikasi pelabuhan perikanan. Contohnya, ikan-ikan dari kelompok tuna. Walapun para ahli bersepakat bahwa tak ada yang mampu memprediksi potensi ikan tuna dengan hasil yang pasti, para peneliti menyarankan agar pemerintah tak lagi memberikan izin penangkapan baru di seluruh perairan Nusantara. Produk perikanan Indonesia banyak yang gagal menembus pasar ekspor karena penanganan dan manajemen yang buruk. Belum lagi, masalah tangkapan samping. Sebagai salah satu solusi, para peneliti menawarkan pengelolaan perikanan yang berdasarkan pendekatan ekosistem, menetapkan kawasan-kawasan perlindungan laut untuk mengelola dan melindungi fungsi-fungsi penting pelestarian sumber daya laut.

Rawai nan Sepi

OLEH: INDAR WATI AMINUDDIN

Melalui sejumlah penelitian, perikanan Indonesia tengah menghadapi ancaman. Beberapa perairan mengalami penangkapan berlebihan untuk beberapa jenis ikan predator besar. Pengelolaan yang berdasarkan pendekatan ekosistem menjadi salah satu pilihan untuk menata kembali perikanan Indonesia.


KRISIS LAUT

Keluhan itu datang dari Masdar, kapten dari sebuah kapal rawai tuna yang berlabuh di Pelabuhan Benoa, Bali. Gerombolan ikan tuna sirip uning atau madidihang saat ini makin sulit dijumpai pada beberapa awasan perairan dalam Nusantara. Walaupun telah bekerja keras dan

memperpangjang waktu perburuan, ikan-ikan yang tersangkut kail rawai milik Masdar belum mampu menutupi ongkos kapal yang mencapai dua ratus juta rupiah dalam setiap perjalanan.

Di pelabuhan yang sama saya juga menjumpai Supriyadi, kapten KM Mas 7, kapal rawai tuna lainnya. Ia mencoba memberikan gambaran. Saat ini zona wilayah penangkapan di Samudra Hindia bagaikan pasar yang disesaki pengunjung. Ada belasan kapal pemburu tuna di sana. Akibatnya, “kami berebut fishing ground (daerah penangkapan ikan),”keluhnya. Saat dilakukan penarikan, rawai tuna milik kapalnya terasa lebih ringan daripada perjalanan di masa silam. Continue reading “KRISIS KELAUTAN INDONESIA”

Tahun 2030, Ikan Terbang Bisa Hilang


National Geographic

Jumat, 3 April 2009 | 17:24 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Keberadaan ikan terbang dikhawatirkan akan lenyap di perairan Indonesia pada tahun 2030 bila pola pengelolaan ikan tersebut tidak diperbaiki.

“Pengelolaan ikan terbang di Indonesia, sekitar 30 persennya berasal dari Sulawesi Selatan. Kalau tren itu dipertahankan, tahun 2030 tidak ada ikan itu,” kata Peneliti Perikanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Augy Syahailatua, di Jakarta, Jumat (3/4).

Ia mengatakan, besar kemungkinan ikan terbang akan berpindah tempat dari perairan Sulawesi Selatan bila penangkapan ikan terbang terus dilakukan secara besar-besaran. “Kemungkinan ikan terbang akan berpindah tempat. Selain itu, populasinya juga akan berkurang kalau dilakukan penangkapan secara berlebihan. Tetapi, kami akan terus melakukan riset,” ujarnya.

Pada tahun 1922 lalu, diperkirakan terdapat 18 jenis ikan terbang di Indonesia. Namun, pada tahun 2004 dan 2005 hanya ditemukan sekitar 13 jenis saja. Sedangkan 5 jenis lainnya tidak diketahui keberadaannya. “Yang 5 jenis itu masih ada atau tidak, sampai sekarang tidak jelas,” tuturnya.
ANI