Agenda Makro Revitalisasi Perikanan yang Berkelanjutan


Inovasi-vil6/XVIII/Maret 2006 http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=134

Oleh : Luky Adrianto

1. Latar Belakang

Bangsa yang berintegritas adalah bangsa yang mampu memahami sumberdaya dan kemampuan dirinya untuk kemudian memanfaatkannya demi peningkatan kesejahteraan (prosperity) dan kebanggaan (dignity) nasional. Untuk mewujudkan hal ini, maka semangat perubahan (changes) dapat dijadikan sebagai semangat dasar seperti yang disampaikan oleh Evelyn Waugh yang menyatakan “change is only evidence of life” [1]. Semangat perubahan yang berusaha mengubah perilaku berkehidupan masa lalu menuju masa depan yang penuh integritas, kebanggaan dan kesejahteraan yang berkeadilan.

Sementara itu, tantangan ekonomi-politik pasca pemilu 2004 masih tetap pada isu-isu pemulihan ekonomi nasional, khususnya sektor riil. Dengan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi mampu mencapai angka 4,1%, Bank Dunia memuji keberhasilan Indonesia dalam penguatan pondasi ekonomi nasional. Namun demikian, beberapa isu pengelolaan (governance) ekonomi dan politik masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru. Pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh sektor konsumsi dianggap tidak mencerminkan pertumbuhan riil ekonomi. Sementara itu, kinerja sektor investasi yang secara teoritis mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi riil masih belum seperti yang diharapkan. Data terakhir menunjukkan bahwa jumlah persetujuan Penanaman Modal Asing (PMA) yang pada tahun 2000 mencapai 1.542 proyek dengan total nilai US$ 16,1 miliar, turun menjadi hanya 1.047 proyek dengan nilai US$ 13,6 miliar pada tahun 2003. Kondisi yang sama terjadi untuk Penamanam Modal Dalam Negeri (PMDN) yang turun dari 392 proyek (Rp 98 triliun) pada tahun 2000 menjadi hanya 196 proyek dengan nilai Rp. 50,1 triliun pada tahun 2003 (BKPM, 2004). Dengan kondisi ini, disinyalir Indonesia akan menjadi hanya tujuan pasar daripada tujuan investasi.

Dengan kondisi ekonomi makro seperti tersebut di atas maka isu pemulihan ekonomi yang terkait dengan pemulihan iklim investasi dan peningkatan kesempatan kerja menjadi salah satu agenda utama. Dalam konteks ini, sektor perikanan dan kelautan kemudian menjadi salah satu sektor yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap upaya pemulihan tersebut [2]. Tugas ini tentu tidak ringan, tapi juga bukan hal yang mustahil. Paling tidak ada 5 alasan yang mendasari optimisme sektor ini. Selain faktor kekayaan sumberdaya alam (natural resources endowment) yang dimiliki, menjadikan sektor perikanan dan kelautan sebagai penggerak utama (prime mover) ekonomi nasional juga didasari oleh kenyataan bahwa, pertama, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia dan kesadaran akan pentingnya kualitas gizi pangan maka permintaan produk perikanan diperkirakan akan semakin tinggi. Kedua, terkait dengan peningkatan permintaan ini, maka sektor perikanan dan keluatan mampu menghasilkan backward and inward linkages economies dalam struktur perekonomian nasional. Ketiga, dengan berbasis pada sumberdaya alam terbarukan (renewable resources), maka basis pembangunan berkelanjutan dapat diwujudkan. Keempat, pengembangan sektor perikanan dan kelautan termasuk pulau-pulau kecil dapat membantu mengatasi persoalan perbatasan dan revitalisasi fungsi ekonomi, ekologis, budaya dan hankam dari pulau-pulau kecil dan atau pulau terpencil (remote islands) serta menciptakan distribusi kesejahteraan antar wilayah. Terakhir, fokus ke laut menjadikan Indonesia kembali sadar (reinventions) bahwa secara budaya, masyarakat Indonesia tidak dapat dilepaskan dari wilayah pesisir dan laut [2].

Namun demikian, secara empiris harus diakui bahwa pembangunan kelautan dan perikanan sebagai penopang utama ekonomi nasional masih memerlukan perjuangan dan kerja keras tanpa henti (endless efforts) dari seluruh stakeholders-nya. Upaya pembangunan sektor ini sesungguhnya dapat dimulai dari skala lokal untuk kemudian dilakukan proses pembelajaran (lessons learned) bagi pembangunan di level di atasnya.

2. Memperkuat Kerangka Pengelolaan Perikanan dan Kelautan

Perikanan sebagai Indikator Kelautan

Perikanan bukan satu-satunya manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan laut nasional. Laut juga memiliki fungsi penyedia produksi dan jasa bagi sektor-sektor transportasi, pertambangan mineral, pariwisata, pertahanan dan keamanan, serta produksi energi. Namun demikian, sebagai sebuah sistem, perikanan dapat dijadikan indikator yang baik bagi pengelolaan laut [3]. Hal ini terkait dengan premise bahwa perikanan merupakan sistem yang kompleks dan dinamik di mana dalam tataran empiris melakukan sharing dengan sumberdaya lain dalam konteks ruang (space) dan karakteristik. Dengan demikian, pengelolaan perikanan secara langsung maupun tidak akan mencakup keterkaitan dengan sumberdaya lain. Persoalan yang muncul dalam pengelolaan perikanan menjadi tanda (signals) bagi kesalahan kebijakan kelautan yang bisa berlaku baik di level lokal, regional maupun nasional [3].

Namun demikian, pendekatan pengelolaan perikanan dan kelautan secara komprehensif tetap diperlukan dalam konteks bahwa seluruh manfaat laut memiliki keterkaitan ke dalam maupun ke luar antar sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya. Ini berarti pendekatan kebijakan kelautan (marine policy) menjadi salah satu prasyarat di mana, dalam konteks platform ini, perikanan menjadi salah satu indikator utamanya.

Dekonstruksi Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan, khususnya pada era post-EEZ,. menghadapi tantangan yang besar. Seperti yang ditegaskan oleh Hanna [3], sejarah dan evolusi pengelolaan perikanan global menunjukkan bahwa secara empiris trend hasil-hasil pengelolaan ternyata tidak sesuai dengan karakteristik yang diharapkan. Jangkauan pengelolaan perikanan (management scope) ternyata bersifat dinamik dan variatif, bukan statis. Sementara itu, struktur pengelolaan perikanan pun bersifat kaku (sluggish) dan bukan bersifat adaptif (adaptable). Konsekuensi dari lemahnya pengelolaan perikanan ini adalah produksi perikanan yang terus menurun, kehilangan nilai produktivitas ekonomi, biaya pengelolaan yang tinggi, dan ketidakadilan distribusi kesejahteraan dari sektor ini. Tantangan seperti ini lah yang menjadi landasan bagi platform pembangunan perikanan nasional pasca-Pemilu 2004. Keluaran yang diharapkan tentu bersifat linier dengan indikator kesuksesan pengelolaan yaitu terwujudnya pembangunan perikanan dan kelautan yang berkelanjutan. Dalam konteks ini dekonstruksi dan penguatan sekaligus dari pengelolaan perikanan menjadi prasyarat penting.

Secara teoritis, pengelolaan perikanan (fisheries governance) memiliki paling tidak 3 unsur yang perlu diperhatikan yaitu (1) jangkauan pengelolaan (scope), (2) struktur pengelolaan; (3) persoalan biaya transaksi. Dalam konteks jangkauan, pengelolaan perikanan terkait dengan kenyataan bahwa perikanan memiliki multi-fungsi mulai dari fungsi ekologi, ekonomi, sosial hingga kelembagaan. Hal ini tentu menimbulkan tantangan apakah jangakuan pengelolaan perikanan hanya mencakup satu atau dua fungsi tersebut, atau secara komprehensif mencakup seluruh fungsi yang ada. Walaupun secara teoritis pengelolaan perikanan mampu dilakukan dengan jangkauan komprehensif, namun dalam tataran empiris diperlukan kerja keras dengan visi keberlanjutan perikanan yang kuat dalam penyusunan strategi pengelolaan perikanan di segala level.

Sementara itu, dalam hal struktur pengelolaan, Hanna [3] mengindentifikasi bahwa tidak ada bentuk terbaik dari struktur pengelolaan perikanan. Selalu ada kesenjangan (tradeoffs) antara stabilitas dan fleksibilitas, antara otoritas dan keterwakilan, antara sosial dan individu, dan lain sebagainya. Dalam teori kebijakan, fungsi utama dari struktur pengelolaan perikanan adalah adanya stabilitas dan konsistensi dari pengambilan keputusan ketika sistem atau kondisi senatiasa harus adaptif terhadap perubahan [4]. Dalam konteks ini maka struktur yang baik bagi pengelolaan perikanan adalah struktur yang stabil dalam konteks representasi, distribusi autoritas pengambilan keputusan dan informasi serta mampu memberikan batas yang jelas antara advisory roles dan decision roles.

Dalam konteks biaya transaksi, penguatan pengeloaan perikanan perlu memperhatikan ex-ante and ex-post cost dillema. Setiap pengelolaan memerlukan biaya transaksi untuk menjalankan pengelolaan tersebut. Tantangan setiap kebijakan publik adalah bagaimana meminimumkan biaya transaksi ini. Dalam rejim yang menempatkan otoritas sebagai kendaraan utama, ex-ante cost bisa jadi rendah namun tinggi di ex-post cost-nya. Demikian juga sebaliknya. Sistem perikanan yang kompleks dengan interaksi sistem alam dan manusia yang dinamis memerlukan kebijakan pengelolaan yang mampu mengoptimalkan biaya transaksi yaitu mengurangi besaran biaya transaksi dan pada saat yang sama mampu menjaga keadilan dalam distribusi biaya.

Ketiga faktor ini lah yang diharapkan dapat menjadi landasan bagi platform penguatan dan dekonstruksi bagi pengelolaan perikanan dan kelautan saat ini dan masa depan.

3. Agenda Makro Revitalisasi Perikanan

Perubahan Rejim Perikanan dari Quasi Open Access ke Limited Entry

Dimulai dari adagium “the Freedom of the Sea” yang diinisiasi oleh Grotius (1609), rejim pemanfaatan sumberdaya laut dikenal sebagai rejim open acces di mana hampir tidak ada batasan untuk melakukan akses terhadap sumberdaya perikanan di laut. Dalam konteks hukum laut, adagium ini merupakan awal dari perdebatan konsep pengelolaan laut antara penganut mazhab laut terbuka/bebas (mare liberum) yang dipelopori oleh Grotius dan mazhab laut tertutup (mare clausum) yang di antaranya diiniasi oleh sekelompok pemikir Inggris seperti Welwood dan Selden. Seperti yang telah diidentifikasi oleh Charles [5], paling tidak ada dua makna dalam rejim open access ini, yaitu pertama, bahwa sumberdaya perikanan yang tidak tak terbatas ini diakses oleh hampir kapal yang tidak terbatas (laissez-faire) yang diyakini akan menghasilkan kerusakan sumberdaya dan masalah ekonomi. Makna kedua adalah bahwa tidak ada kontrol terhadap akses kapal namun terdapat pengaturan terhadap hasil tangkapan. Hal ini diyakini menjadi salah satu kontributor dari overkapitalisasi terhadap kapal yang didorong oleh pemahaman rush for the fish; siapa yang kuat dia yang menang.

Indonesia, melalui penataan hukum yang menyangkut kegiatan perikanan maupun pengelolaan laut pada umumnya, memang menyebut adanya pembatasan akses terhadap wilayah penangkapan ikan. Namun demikian, pengaturan ini tidak diikuti dengan pembatasan jumlah kapal sehingga yang terjadi adalah quasi open access atau open access dalam makna kedua menurut Charles [5] seperti yang telah diuraikan di atas. Selain itu, lemahnya penegakan hukum di laut menjadi kontributor utama dari belum berhasilnya rejim tata kelola (governance) perikanan kita. Dalam konteks ini revitalisasi tata kelola (governance revitalization) menjadi salah satu prasyarat utama sebagai bagian dari sebuah konsepsi negara kelautan terbesar (ocean state) di dunia.

Salah satu titik awal dari revitalisasi tata kelola perikanan adalah secara gradual mengubah rejim quasi open acces menjadi limited entry atau paling tidak controlled-open acces. Rejim ini menitikberatkan pada pengelolaan sumberdaya perikanan baik dari sisi input maupun output melalui mekanisme pengaturan use rights. Tata pemerintahan yang baik (good governance) menjadi prasyarat dari penerapan rejim ini karena menyangkut mekanisme pemberian ijin yang adil, transparan dan efisien. Charles [5] memperingatkan bahwa rejim pengelolaan limited entry tidak dapat digunakan secara sendirian, namun harus dilakukan dalam skema management portofolio dimana melibatkan tool lain seperti quantitative allocation of inputs atau allowable catches yang dipayungi oleh sebuah kerangka peraturan (legal endorsment) yang sesuai. Konsepsi limited entry ini akan semakin bermanfaat dalam konteks perikanan budidaya. Tidak jarang kegiatan budidaya yang sudah established harus kolaps karena tidak adanya kepastian hukum, ekonomi dan politik terhadap unsur spasialnya. Konsepsi limited entry ini dapat pula menjadi titik awal bagi pemberian hak yang jelas kepada nelayan perikanan pantai untuk melakukan aktifitasnya melalui mekanisme fishing right. Dalam konteks ini, pemberian hak penangkapan ikan (fishing right) harus mempertimbangkan “kepada siapa hak tersebut diberikan”. Oleh karena itu, definisi nelayan perlu pula direvitalisasi sehingga menghasilkan nelayan yang profesional bukan sekedar free raiders yang menjadi ciri utama pelaku perikanan dalam rejim open access. “Fit and proper test” terhadap nelayan tidak berorientasi hanya kepada pertimbangan ekonomi saja, namun yang lebih penting adalah pertimbangan komunitas sehingga menjamin keberlanjutan perikanan dari sisi komunitas seperti yang telah diuraikan sebelumnya.

Kebijakan Total Allowable Effort : Jumlah Nelayan

Berdasarkan karakteristik human system dalam tipologi fishery system seperti yang disa mpaikan oleh Charles [5], terdapat beberapa karakteristik umum dari nelayan (fishers) yaitu bahwa pertama, nelayan berbeda menurut latar belakang sosial seperti tingkat umur, pendidikan, status sosial dan tingkat kohesitas dalam komunitas mikro (antar nelayan dalam satu grup) atau dalam komunitas makro (nelayan dengan anggota masyarakat pesisir lainnya). Kedua, dalam komunitas nelayan komersial, nelayan dapat bervariasi menurut occupational commitment-nya seperti nelayan penuh, nelayan sambilan utama dan nelayan sambilan, atau menurut occupational pluralism-nya seperti nelayan dengan spesialisasi tertentu, nelayan dengan sumber pendapatan beragam, dan lain sebagainya. Ketiga, nelayan dapat bervariasi menurut motivasi dan perilaku di mana dalam hal ini terdiri dari dua kelompok yaitu nelayan dengan karakteristik profit-maximizers yaitu nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan cenderung berperilaku seperti layaknya “perusahaan”, dan kelompok nelayan satisficers atau nelayan yang aktif menangkap ikan untuk mendapatkan penghasilan yang cukup.

Tipologi nelayan seperti yang telah dijelaskan tersebut di atas dapat digunakan sebagai benchmark bagi penentuan pola-pola relokasi nelayan antar wilayah pengelolaan perikanan (WPP). Hal ini terkait dengan pertanyaan-pertanyaan seperti kelompok nelayan yang mana yang akan direlokasi, dan lain sebagainya. Lebih lanjut, informasi tentang dinamika sosial ekonomi masyarakat nelayan baik yang akan direlokasi maupun yang akan menjadi tujuan relokasi harus diketahui dengan baik untuk menghindari kemungkinan distorsi dari tujuan relokasi seperti potensi terjadinya konflik baik konflik vertikal maupun horisontal.

Salah satu key factor dalam dinamika sosial ekonomi nelayan adalah informasi dan pengetahuan tentang hak (rights) karena pola relokasi nelayan tetap harus mempertimbangkan konsep perikanan berbasis hak (right-based fisheries) untuk menjamin keadilan dan keberlanjutan komunitas nelayan sebelum dan sesudah relokasi. Menurut Ostrom and Schlager [6], paling tidak ada dua tipe hak yang penting dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya perikanan yaitu (1) use (operational-level) rights, dan (2) collective-choice rights. Tipe hak yang pertama mengacu pada hak yang melekat pada operasionalisasi perikanan atau dalam konteks perikanan tangkap adalah yang terkait dengan proses dan dinamika penangkapan ikan. Dalam tipe ini, beberapa hak penting antara lain adalah hak akses (access rights) yaitu hak untuk masuk (entry) ke dalam usaha perikanan tangkap baik dalam konteks daerah penangkapan (fishing ground) atau dalam salah satu struktur usaha perikanan seperti penyediaan bahan baku, pengolahan perikanan, dan lain sebagainya. Masih dalam tipe hak yang pertama (use rights), hak untuk menangkap ikan dalam jumlah tertentu (harvest rights) juga merupakan jenis hak yang penting. Walaupun secara kontekstual berbeda, kepemilikan kedua hak (access and harvest rights) secara bersama-sama merupakan unsur penting dalam keberlanjutan komunitas perikanan. Tanpa pemberian hak tersebut, maka tujuan relokasi nelayan ke tempat yang baru tidak akan tercapai sesuai harapan.

Tipe hak kedua (collective-choice rights) lebih menitikberatkan pada hak pengelolaan perikanan (fisheries governance) yang biasanya diberikan kepada otoritas tertentu di luar masyarakat nelayan (supra-community). Otoritas ini biasanya adalah pemerintah lokal yang dalam konteks otonomi daerah sesuai dengan UU No. 32/2004 pasal 18 memegang peran yang penting dalam pengelolaan perikanan. Dalam konteks relokasi nelayan, tipe hak kedua ini menjadi sangat penting karena hak ini terkait dengan unsur “siapa yang mengatur” sebagai pelengkap dari konsep hak yang terkait dengan “siapa yang diatur” seperti yang telah dijelaskan dalam tipe hak pertama (use rights). Selain hak pengelolaan, beberapa jenis hak penting yang masuk dalam ketegori collective-choice rights adalah hak eksklusi (exclusion right) yaitu hak otoritas untuk menentukan kualifikasi bagi pihak-pihak yang ingin mendapatkan hak akses (access right) maupun panen (harvest right) dan hak alienasi (alienation right) yaitu hak untuk mentransfer dan menjual hak pengelolaan.

Berdasarkan uraian tentang dua unsur penting dalam masyarakat nelayan yaitu tipologi nelayan dan hak tersebut di atas, maka pola relokasi nelayan yang harus diterapkan dalam konteks pengembangan perikanan tangkap adalah pola-pola yang mampu menjamin keberlanjutan komunitas perikanan di tempat yang baru. Khususnya yang terkait dengan distribusi hak yang adil antara nelayan pendatang (yang direlokasi) dan nelayan lokal (yang menerima relokasi nelayan). Tanpa skema ini maka konflik akan sangat mudah terjadi dan pada akhirnya akan memicu timbulnya biaya sosial (social cost) yang cukup besar.

Dalam konteks revitalisasi perikanan, pemberlakuan kebijakan relokasi nelayan harus pula memperhatikan lokasi wilayah pengelolaan perikanan (WPP) sehingga relokasi nelayan dapat dilakukan dengan prinsip cost effectiveness. Sebagai contoh, kelebihan nelayan di WPP 1 (Selat Malaka) mungkin akan lebih tepat apabila dialihkan ke WPP terdekat yaitu WPP 2 (Laut China Selatan) yang notabene masih relatif dekat dan secara sosial tidak terlalu berbeda.

Selain itu, termasuk dalam strategi ini adalah kebijakan transformasi nelayan. Kebijakan ini pada intinya bertujuan untuk memindahkan (transform) mata pencaharian nelayan baik secara vertikal misalnya dari nelayan menjadi pembudidaya ikan, pedagang perikanan atau pengolah ikan, jadi masih tetap dalam koridor sistem perikanan, atau dilakukan secara horisontal yaitu mengalihkan profesi nelayan menjadi kegiatan lain di luar sistem perikanan.

Secara teoritis, transformasi vertikal lebih dipilih sebagai salah satu alternatif kebijakan mengingat bahwa karakteristik komunitas perikanan pada umumnya bersifat artisanal sehingga tidak jarang kegiatan perikanan merupakan satu-satunya pilihan hidup bagi masyarakat nelayan. Dengan memindahkan mata pencaharian mereka yang masih masuk dalam sistem perikanan, diharapkan tidak banyak terjadi gejolak sosial ekonomi yang timbul. Sama dengan dalam konteks relokasi nelayan, faktor hak-hak sosial ekonomi masyarakat nelayan yang ditransformasi harus diperhatikan sehingga keberlanjutan masyarakat ini tetap dapat dijaga.

Kebijakan Local Fisheries Management Organization

Kebijakan ini merupakan adopsi dari salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan yang disarankan oleh FAO melalui Code of Conduct for Responsible Fisheries (FAO, 1985) yaitu bentuk Regional Fisheries Management Organization (RFMO). Pada dasarnya, kebijakan ini menitikberatkan pada kerjasama regional (level negara) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan lintas batas seperti untuk kawasan perairan luas (large marine ecosystem) seperti Samudera Pasifik atau Samudera Hindia.

Mengingat karakteristik sumberdaya perikanan Indonesia didominasi oleh sumberdaya perikanan pelagis dan pada umumnya -khususnya ikan pelagis besar- memiliki karakteristik sebagai transboundary species, maka kerjasama perikanan di tingkat lokal (antar kabupaten/kota atau antar propinsi) adalah agenda penting berikutnya. Konflik antar nelayan yang terjadi (Jawa-Kalimantan) adalah contoh betapa konflik harus diselesaikan baik secara kultural maupun struktural. Dalam konteks ini pengelolaan perikanan berbasis ekosistem (ecosystem-based fisheries management) menjadi sangat penting dan dapat diimplementasikan sebagai Local Fisheries Management Organization (LFMO). Kerjasama ini bisa digunakan untuk menentukan alokasi nelayan antar daerah, transformasi nelayan maupun kerjasama-kerjasama mutual lainnya seperti kerjasama teknologi perikanan baik dalam konteks eksplorasi, eksploitasi maupun pengolahan hasil perikanan.

Skema LFMO dapat mengadopsi pola RFMO yang dikembangkan oleh FAO. Sebagai contoh pola-pola kerjasama antara daerah berbasis joint-fee untuk mengelola sumberdaya perikanan milik bersama dapat dilakukan dengan semangat bahwa sumberdaya perikanan harus dimanfaatkan dan dikelola secara berkelanjutan. Salah satu kendala yang mungkin masih belum menjadikan skema ini sebagai konsep yang operasional adalah bahwa skema ini memerlukan rejim pengelolaan yang tegas (modified limited entry) dengan definisi nelayan dan fishing right yang transparan dan berkeadilan.

Definisi nelayan menjadi faktor penting karena pemerintah (baik pusat maupun daerah) masih memegang hak pengelolaan di mana salah satu implementasinya adalah menentukan persyaratan bagi pihak-pihak yang akan mendapatkan hak akses dan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan. Seperti yang kita ketahui, rejim perikanan di Indonesia masih bersifat quasi open access sehingga membuat profesi nelayan dianggap sebagai the last resort for employment. Dengan pendefinisian nelayan yang tegas, maka profesi nelayan dapat terjaga kemurniannya dengan tentu saja harus disesuaikan dengan karakteristik nelayan Indonesia. Dalam konteks global, Jepang adalah negara yang membatasi jumlah nelayan melalui pemberlakuan definisi nelayan seperti yang tercantum dalam UU Koperasi Perikanan-nya. Menurut UU ini, nelayan didefinisikan sebagai orang yang aktif menangkap ikan minimal 92 hari per tahun. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan dapat lebih optimal dengan kejelasan profesi nelayan sebagai ujung tombak pengelolaan sumberdaya perikanan itu sendiri.

Optimalisasi Distant Waters Fishing

Salah satu peluang pengembangan perikanan yang dapat dijadikan benchmark bagi revitalisasi perikanan nasional adalah pengembangan armada Distant Waters Fishing (DWF). Hal ini sejalan dengan kecenderungan kebijakan perikanan global khususnya tentang regional fisheries management organization yang mencakup perairan trans-nasional untuk komoditas perikanan yang ekonomis penting dan bersifat trans-boundary seperti tuna dan cakalang. Dengan menjadi anggota RFMO maka secara otomatis hak penangkapan ikan akan diperoleh yang artinya membuka peluang bagi pengembangan DWF.

Strategi yang dapat dilakukan adalah mendorong industri perikanan besar untuk terlibat aktif dalam kebijakan DWF, dan membiarkan perikanan rakyat mendominasi perikanan domestik. Strategi ini diperlukan agar optimasi kapasitas perikanan nasional dapat dicapai tanpa harus memberikan biaya korbanan (oppportunity costs) yang besar kepada persoalan konflik ruang dan sumberdaya.

6. Penutup

Revitalisasi perikanan merupakan upaya yang tidak dapat dilakukan dalam jangka pendek dan merupakan upaya jangka panjang dan terus menerus. Revitalisasi perikanan itu sendiri memerlukan prasyarat perubahan di mana diantaranya adalah kemauan untuk mengubah pendekatan sektoral menuju pendekatan integratif untuk mengelola sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.

Daftar Pustaka

  1. Khasali, R. 2005. Changes. Gramedia, Jakarta.
  2. Hanna, S. 1999. Strenthening Governance of Ocean Fishery Resources. Ecological Economics Vol. 31 : pp. 275-286.
  3. Dahuri, R. 2004. Membangun Indonesia yang Maju, Makmur dan Mandiri Melalui Pembangunan Maritim. Makalah disampaikan pada Temu Nasional Visi dan Misi Maritim Indonesia dari Sudut Pandang Politik, Jakarta, 18 Februari 2004.
  4. Nohria, N and Gulati, R. 1994. Firms and Their Environments. In : Smelser, N.J. and Swedberg, R. (Eds). The Handbook of Economic Sociology. Princenton University Press. Pricenton, NJ. pp. 529-599.
  5. Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Sciences. London, UK.
  6. Ostrom, Elinor and Edella Schlager.1996. The Formation of Property Right. In Right to Nature: Ecological, Economic, Cultural, and Political Principles of Institutions for the Environment ,Hanna, Susan, Carl Folke, Karl-Goran Maler (eds). Island Press : Washington DC, , pp. 130-132
  7. Adrianto. L. and Y. Matsuda. 2002. Developing Economic Vulnerability Indices of Environmental Disasters in Small Island Regions. Environmental Impact Assessment Review (22) : 393-414
  8. Adrianto. L and Y. Matsuda. 2004. Assessing Local Sustainability of Fisheries System: a multi-criteria participatory approach with the case of Yoron Island, Kagoshima Prefecture, Japan. Marine Policy (forthcom

Leave a comment