Eksistensi Taman Nasional Rawa Aopa


Mungkin kita tak asing lagi mendengar nama ini, “Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW)”. Sebuah kawasan konservasi yang orang Sultra menyebutnya sebagai daerah perlindungan Rusa.

Sejak dulu, kawasan ini terkenal dengan polulasi Rusa dan Maleonya.   Secara administrasi, kawasan ini masuk dalam empat wilayah kabupaten. Yaitu, Konawe, Konawe Selatan, Kolaka, dan Bombana. Sebelumnya, kawasan ini merupakan kawasan hutan Taman Buru Dataran Rumbia dan Suaka Margasatwa Rawa Aopa – Gunung watumohai. Kawasan ini merupakan kesatuan kawasan yang memiliki empat tipe ekosistem di Sulawesi. Yaitu, ekosistem hutan seluas 64.569 hektar, ekosistem rawa 11.488 hektar, ekosistem savana 22.964 hektar dan ekosistem mangrove 6.173 hektar. Keempat ekosistem itu saling bertergantungan. Satu eksosistem rusak, maka akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Karena satu-satunya daerah konservasi Sulawesi dengan ekosistem lengkap ada di kawasan ini, maka pada tahun 1990, daerah ini ditetapkan menjadi kawasan Taman Nasional Rawaopa Watumohai (TNRAW) berdasarkan surat keputusan Mentri Kehutanan nomor 756.

Berdasarkan hasil survei petugas balai TNRAW tahun 2002, tercatat, sejumlah 501 jenis tumbuhan dari 110 famili. Diantaranya terdapat beberapa jenis tumbuhan yang dilindungi antara lain Damar (Agathis Hiomii) dan Kasumeeto (Dyospyros Malabarica). Selain itu, kawasan yang teletak di empat wilayah kabupaten ini, memiliki populasi 28 jenis mamalia diantaranya 13 jenis endemik sulawesi), 4 jenis Amphibia dengan 1 jenis endemik sulawesi, 7 jenis reptilia, 8 jenis pisces, 207 jenis Aves diantaranya 38 endemik sulawesi dan 9 endemik indonesia).

Rawa berfungsi sebagai tempat cadangan (reservoir) air dan mengatur air, baik dari daerah tangkapan hujan maupun air limpasan (run-off) sehingga kesatuan ekosistem ini merupakan contoh yang baik dari habitat limpasan banjir dan sumber cadangan air tawar. Sementara pada bagian tengah dan Selatan, daerah tangkapan hujan di G. Watumohai dan G. Mendoke merupakan sumber air bagi sungai-sungai yang mengalir ke daerah pantai.

Sungai membawa Lumpur dan membentuk dataran Lumpur di muara sungai dan pantai. Dataran Lumpur ini menjadi habitat bagi burung-burung air. Mangrove sepanjang pantai menjadi habitat memijah bagi ikan dan udang. Mangrove di sini juga berfungsi secara ekologis untuk menahan intrusi air laut, menahan angin dan menjadi habitat utama Crocodylus porosus. Rawa Aopa memiliki nilai penting bagi masyarakat setempat karena menghasilkan ikan yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, baik sebagai sumber mata pencaharian maupun sebagai penambah protein.

Selain itu gelaga (Hypolytrum nemorum) menjadi bahan utama untuk diolah menjadi kerajinan tangan seperti tikar dan topi. Sampai saat ini kawasan pantainya menjadi tempat utama yang menghasilkan udang dan ikan terbaik dibandingkan daerah pantai Sulawesi Tenggara lainnya. Kondisi ini diakui oleh nelayan sehingga banyak nelayan mencari udang dan ikan di kawasan pantai dan membangun bagan sepanjang muara-muara sungai utama.

Ancaman

Saat ini, ekosistem rawa mulai terancam punah, satu-satunya tipe lahan basah gambut di Sulawesi, Rawa berfungsi sebagai cadangan, sumber air tawar dan pengatur tata air (bersifat “spon” menampung dan menyimpan air saat penghujan serta mengalirkannya secara perlahan), Penghasil ikan air tawar, menjadi sumber mata pencaharian masyarakat sekitar.

Lokasi ini merupakan contoh keterwakilan yang baik sebagai kriteria lahan basah, karena memegang peran utama hidrologi, biologi atau proses ekologi dalam fungsi alam dari daerah aliran sungai utama, atau sistem pantai, khususnya lokasi ini berada dalam posisi daerah peralihan.

Pada bagian Utara, air hasil tangkapan hujan masuk ke rawa aopa dan keluarannya adalah sungai Konaweha dan sungai Aopa bersatu menjadi sungai Sampara. Selain itu, ekosistem mangrove sebagai habitat Anoa dan Buaya Muara tak luput dari ancaman. Karena, tempat memijah dan asuhan biota jenis ini mulai dijamah manusia.
Akibatnya, ekosistem mangrove dan laut sebagai penahan instrusi air laut dan angin tak berfungsi baik lagi. Di satu sisi, keterwakilan tipe lahan basah, mangrove alami yang tersisa di Sultra, adalah penghasil ikan dan udang (terasi terbaik Tinanggea). Lalu, ekosistem Savana sebagai habitat Maleo, Babi Rusa, Anoa, Monyet Sulawesi, Elang Sulawesi, dan Musang Sulawesi. Habitat utama satwa rusa, diperkirakan saat ini tersisa + 1.000 ekor (termasuk yang ada di hutan dataran rendah).

Daerah resapan dan limpasan banjir, tergenang terutama saat penghujan merupakan habitat bagi burung migran. Koridor satwa untuk berlindung (hutan) dan untuk penggaraman (mangrove). Ekosistem ini menyediakan bahan baku kerajinan anyaman may seperti tikar bahan pangan lainnya. Kawasan TNRAW ternyata tak hanya menjadi tempat berlindungnya fauna langka yang dilindungi oleh pemerintah.

Namun, dia menyimpan potensi tambang emas, nikel, dan biji besi melimpah dalam perutnya. Sayangnya, pikiran pragmatis pemerintah daerah menilai status kawasan konservasi ini adalah satu-satunya penghalang bagi mereka untuk mengelola potensi tambang dalam kawasan itu. Ini tentu tak luput dari perspektif tentang peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Jika hitung-hitungan ekonomi yang dipakai pemerintah berdasarkan rencana jangka pendek, yakni rencana pembangunan lima tahun, maka potensi tambang memang sangat ideal untuk dikembangkan. Namun, apakah peningkatan ekonomi daerah harus selalu ditargetkan lima tahun saja? Bagaimana setelah tahun ke enam dan untuk 20 tahun ke depan? Ini harus jadi pemikiran kita bersama.

 

kabarindonesia.com,25/11/2008.

One thought on “Eksistensi Taman Nasional Rawa Aopa

Leave a comment